Laman

May 25, 2013

Sejarah dan Perkembangan Public Private Partnership (PPP) di Indonesia

Oleh: Arif Kelana Putra*

Pembangunan infrastruktur memainkan peranan penting dalam kemajuan perekonomian suatu bangsa. Semakin maju perekonomian suatu negara, maka kebutuhan akan pembangunan infrastruktur akan semakin tinggi. Indonesia pun saat ini sedang menjalani proses tersebut. Beberapa tahun belakangan, perekonomian Indonesia terus mengalami ekspansi di tengah kondisi perekonomian dunia yang penuh ketidakpastian. Kombinasi kuatnya sektor konsumsi dan pesatnya perkembangan investasi menjadikan Indonesia salah satu dari sedikit negara yang mampu mencetak pertumbuhan tinggi. Ya, perekonomian Indonesia sedang melaju saat ini. Untuk mendukung laju perekonomian tersebut, Pemerintah sedang “galak-galaknya” mengakselerasi pembangunan infrastruktur.

Berbagai macam syarat dan kebutuhan pendukung terus dibenahi. Mulai dari peraturan, metode pengadaan, pencarian sumber dana investasi, pembebasan lahan, dan sebagainya. Satu hal yang paling menonjol dalam upaya percepatan pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Pemerintah adalah dalam hal metode pengadaan proyek infrastruktur. Pemerintah mengadopsi metode pengadaan public private partnership (PPP) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai kerjasama pemerintah-swasta (KPS).


Pemilihan metode ini dilatarbelakangi fakta bahwa kondisi anggaran Pemerintah terbatas, sementara itu kebutuhan pembangunan infrastruktur harus dilakukan dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Skema KPS membuka ruang bagi sektor swasta untuk berperan aktif dalam pembangunan sektor infrastruktur di Indonesia.

Sejarah munculnya metode KPS di dunia dipicu oleh tekanan untuk mengubah model standar pengadaan barang publik yang cenderung menyebabkan peningkatan utang pemerintah. Sehingga pada tahun 1992 di Inggris diperkenalkan lah untuk pertama kali program yang bertujuan untuk mendorong kerjasama pemerintah-swasta, yaitu private finance initiative (PFI).

Skema KPS ini sebenarnya sudah lama diadopsi di Indonesia. Sebelum terjadinya krisis keuangan tahun 1998, Pemerintah sudah menerapkan skema KPS dalam pembangunan jalan tol. Tercatat bahwa pembangunan jalan tol Jakarta-Bogor-Ciawi yang dimulai pada tahun 1974 merupakan salah satu contoh implementasi proyek infrastruktur dengan skema KPS. Namun, pada saat itu sumber pembiayaan utama berasal dari pinjaman luar negeri. Selain itu, proyek-proyek tidak dilelang secara terbuka dan kompetitif, melainkan penunjukan langsung yang ditengarai dilandasi oleh koneksi politik.

Tahun-tahun awal pasca krisis 1998, pembangunan infrastruktur praktis menurun seiring dengan penurunan kinerja perekonomian Indonesia sebagai dampak dari krisis keuangan. Anggaran pemerintah lebih difokuskan untuk memperbaiki perekonomian ketimbang pembangunan infrastruktur. Selain itu, pada periode ini perlu usaha yang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan investor yang merosot.

Baru pada tahun 2005, pemerintah Indonesia mendeklarasikan komitmen untuk mendorong pembangunan infrastruktur melalui skema KPS. Komitmen ini dideklarasikan dalam pelaksanaan Infrastructure Summit 2005. Bisa dikatakan bahwa pada tahun inilah secara resmi Pemerintah mengusung skema KPS dalam mendorong pembangunan infrastruktur Indonesia. Selain karena dideklarasikan secara formal, Pemerintah juga menindaklanjutinya dengan pembenahan regulasi baik dalam hal kerangka umum maupun reformasi sektoral serta pembenahan institusi dan proses bisnisnya dalam rangka mendukung pelaksanaan KPS. Selain itu, pemerintah juga mulai menginisiasi penyediaan fasilitas pengembangan proyek (Project Development Facility), dana pembebasan lahan (Land Acquisition Fund), dan dana penjaminan infrastruktur (Infrastructure Guarantee Fund) bagi para investor swasta yang terlibat dalam pembangunan infrastruktur yang ditawarkan. Pada tahun 2005 ini juga dikeluarkan Perpres 67 Tahun 2005 yang mengatur skema KPS secara komprehensif yang belakangan pada tahun 2010 direvisi menjadi Perpres 13 Tahun 2010.

Pada dasarnya, metode KPS adalah kesepakatan kontrak jangka panjang antara pemerintah dengan mitra swasta untuk pengadaan infrastruktur kepada masyarakat. Karena konsepnya adalah kerjasama, maka masing-masing pihak menanggung bersama atas potensi risiko dan potensi keuntungan yang akan muncul yang menjadi bagian dari proses pengadaan infrastruktur tersebut. Potensi risiko yang akan dihadapi biasanya meliputi risiko keuangan dan tanggungjawab serta jaminan kualitas dari infrastruktur yang dibangun.
Hal yang patut digarisbawahi di sini adalah KPS tidak sama dengan privatisasi. Karena institusi pemerintah yang terlibat di dalam kesepakatan kerjasama menguasai pengaturan dan kepemilikan proyek infrastruktur yang dibangun. Sedangkan privatisasi justru sebaliknya, pihak swasta menguasai dan mengkontrol secara penuh atas proyek yang dijalankan.

Beberapa karakteristik utama dari skema KPS ialah sektor swasta dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur, fokus pada output yang dihasilkan, optimalnya alokasi risiko pemerintah dan pihak swasta, dan kontraknya jangka panjang. Selain itu, penerapan skema KPS akan memunculkan keuntungan bagi masyarakat melalui biaya yang rendah, tingkat layanan yang diberikan tinggi, dan risiko yang dapat ditekan. Fasilitas infrastruktur yang dibangun pun akan dikelola secara efisien dan efektif karena skema KPS mengkombinasikan kemampuan mitra swasta pada pengelolaan fasilitas publik tersebut.

Skema KPS memang terlihat “seksi”, menguntungkan, dan relatif dapat diterapkan oleh Pemerintah dalam membangun infrastruktur di Indonesia. Hal ini pun didukung dengan fakta bahwa banyak negara di dunia yang telah berhasil menerapkan skema ini untuk mendorong pembangunan infrastrukturnya. Beberapa diantaranya adalah Inggris, Australia, dan Amerika Serikat. Namun pertanyaan besarnya adalah kenapa realisasi penerapan KPS di Indonesia masih belum optimal?

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi optimalisasi penerapan KPS di Indonesia. Pertama, pihak pemerintah harus sebaik-baiknya berkomitmen mendayagunakan sumber daya untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Kedua, menciptakan proses pengadaan secara efektif dan transparan, khususnya dalam hal pelelangan proyek. Ketiga, skema KPS diterapkan pada rencana proyek infrastruktur yang masuk akal bagi kedua belah pihak. Keempat, spesifikasi ouput yang akan dihasilkan jelas dan kinerjanya dapat diukur. Kelima, adanya pemahaman bahwa pihak swasta perlu mendapatkan imbal hasil yang cukup adil dari pelaksanaan proyek infrastruktur dengan skema KPS. Keenam, dari berbagai aspek pengadaan infrastruktur tersebut terbuka ruang untuk melakukan inovasi. Dan ketujuh, tersedianya sumber daya manusia yang berpengalaman dan berkemampuan dalam hal pengadaan proyek-proyek infrastruktur, baik dari pihak pemerintah maupun swasta.

Secara komprehensif pemerintah telah berusaha untuk melakukan pembenahan-pembenahan dalam rangka mendukung percepatan pembangunan infrastruktur dengan skema KPS, baik itu dari sisi perundang-undangan, institusi, maupun finansial. Namun, kendala-kendala teknis, seperti sulitnya mekanisme pembebasan lahan, masih menjadi hambatan dalam eksekusi proyek infrastruktur dengan skema KPS. Pelaksanaan percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia masih memerlukan kerja keras tak hanya dari pemerintah saja namun juga masyarakat secara luas. Negara yang maju adalah negara yang masyarakatnya menyadari bahwa masing-masing individu merupakan bagian penting dari pembangunan bangsanya sehingga individu tersebut berkeinginan kuat untuk berkontribusi dan menjaga pembangunan tersebut. Bukankah menjadikan Indonesia negara yang maju adalah cita-cita kita bersama?

*) Analis Ekonomi dan Anggaran
Penulis saat ini bekerja di Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili instansi/pihak manapun.


Tulisan ini dimuat dalam Majalah Warta Anggaran Edisi 24

Sumber: http://www.anggaran.depkeu.go.id/content/Publikasi/Warta%20Anggaran%2024.pdf

No comments:

Post a Comment